Kalau melihat tukang jagal berjual beli daging, itu wajar. Apalagi di masa Ramadhan dan menjelang Idul Fithri nanti, pasti sangat ramai tukang jagal jualan daging. Itu wajar, sebab yang dijual daging sapi, kambing, atau ayam. Ada juga yang menjual daging kuda, kerbau, atau onta. Tetapi kurang umum di masyarakat kita.
Adalah amat sangat keji dan biadab, bila ada yang sampai memperjual-belikan darah manusia, nyawa manusia, nama baik keluarga, masa depan anak-anak, bahkan kehidupan bangsa. Mendengar berita-berita seputar manusia dimutilasi saja sudah sangat ngeri, apalagi ada jual-beli nyawa dan kehidupan insan. Pasti bila ada jual-beli semacam itu, para pelakunya hanyalah syaitan-syaitan berbadan manusia.
Tapi apa ada jual-beli darah dan nyawa manusia?
Ini ada. Faktual. Nyata. Buktinya di depan mata kita. Paling tidak faktanya muncul sejak sekitar 10 tahun terakhir. Khususnya sejak terjadi Tragedi WTC, 11 September 2001. Sejak itu, darah, nyawa, keluarga, masa depan anak-anak, dan kehidupan aktivis-aktivis Muslim menjadi sasaran teror, difitnah habis-habisan, dizhalimi secara semena-mena, diinjak-injak kehormatannya, dan seterusnya. Pihak-pihak yang melakukan teror itu secara riil mendapat donor (dana bantuan) asing, seperti dari Amerika dan Australia.
Aktivis-aktivis Islam diperlakukan seperti hewan buruan, dikejar-kejar, dikepung dengan poster “awas teroris” ditempel di mana-mana, dikepung, ditembaki, dibunuhi di jalan-jalan. Yang berhasil ditangkap hidup, diberi “pelatihan fisik” tertentu, sehingga muka dan badannya bonyok tidak karuan. Mereka ditampilkan di media-media massa sebagai Muslim garis keras, pemuda Islam radikal, pemuda ekstrim, kaum fundamentalis, dsb. Sembari mereka tidak diberi kesempatan untuk membela diri secara adil.
Pihak-pihak yang memangku “tugas negara” menyerang sasaran para aktivis Islam itu, mereka selalu haus membutuhkan publikasi media massa, mereka butuh blow up di mata masyarakat, agar benar-benar tercipta image, bahwa bangsa kita sebentar lagi akan dikuasai teroris. Dengan cara publikasi media itu, mereka mendapat dukungan asing, mendapat dukungan APBN, mendapat restu ini itu. Padahal mayoritas kasus-kasus terorisme itu merupakan rekayasa yang mengada-ada.
Ada banyak alasan untuk memahami bahwa kasus-kasus terorisme di Indonesia ini merupakan rekayasa belaka, tidak memiliki landasan kebenaran sama sekali. Masyarakat hanya dibohong-bohongi oleh berita-berita media yang diputar-balikkan tidak karuan. Berikut argumentasinya:
[1] Peristiwa teror bom di Indonesia, umumnya dimulai pasca Tragedi WTC, 11 September 2001. Sebelum itu, di Indonesia jarang terjadi teror bom. Setelah Bom Bali I, seakan negara kita langganan terjadi teror bom.
[2] Secara umum, pemuda-pemuda Islam yang dituduh teroris itu rata-rata orang fakir-miskin. Ini sangat jelas. Secara ekonomi mereka susah. Itu terlihat dari rumah, kondisi keluarga, kampung tempat tinggal, dll. Lalu darimana mereka bisa membeli amunisi, bahan peledak, senapan, pistol, sirkuit bom rompi, mobil, kamera, dan seterusnya. Untuk diri sendiri saja susah, apalagi mau membuat bom mobil?
(Pihak aparat beralasan, “Mereka dapat transfer dari donor orang asing di Saudi.” Bantahan, sejak WTC 11 September 2001, semua transfer dana untuk keperluan Islam, sekalipun untuk dakwah dan pendidikan, sangat sulit masuk ke Indonesia. Bahkan sejak Saudi merugi akibat Perang Teluk 1990-1991, mereka kesusahan membantu dakwah Islam di negara-negara Muslim).
[3] Imam Samudra, Mukhlas, Amrozi, Ali Imran, mereka mengaku telah meledakkan bom mobil di depan cafe Paddy’s Club di Bali. Tetapi mereka tidak tahu-menahu tentang bom ke-2 di Sari Club yang menewaskan ratusan orang Australia. Menurut sebagian saksi, bom kedua ini merupakan rudal yang ditembakkan dari arah pantai di Bali, jatuh mengenai kafe Sari Club. Imam Samudra Cs melakukan satu kesalahan, tetapi harus menanggung dua dosa sekaligus, termasuk peledakan di Sari Club. Bodohnya, dunia internasional tak peduli dengan fakta itu. Hati mereka sudah tertutup untuk melihat kebenaran.
[4] Dalam setiap aksi terorisme, selalu saja ditemukan video yang menggambarkan aksi tersebut. Termasuk video pada saat peledakan Bom Bali II, JW. Marriot dan Ritz Carlton. Video yang paling dramatis ialah seperti di JW. Marriot dan Ritz Carlton. Disana seperti ada kamera yang terus mengikuti gerak-gerik pelaku teror. Kalau memang sudah tahu ada aksi seperti itu, seharusnya pembawa kamera membuat peringatan sejak dini.
[5] Tabung gas 3 kg yang beredar di masyarakat kerap kali meledak, dan ledakannya seperti bom. Tabung itu mudah didapat, sangat murah lagi. Kalau para “teroris” ingin melakukan teror dengan bom, mereka pasti akan menggunakan tabung gas 3 kg. Tetapi kenyataan yang ada, tidak pernah ada aksi seperti itu. Ini menandakan, bahwa aksi-aksi yang diklaim sebagai terorisme selama ini, sangat mengada-ada.
[6] Banyak pihak mempertanyakan, kalau para aktivis itu benar-benar sebagai bagian dari Tanzhim Al Qa’idah, yang menyatakan jihad global melawan Amerika. Mengapa dalam kasus-kasus teror di Indonesia, tidak ada satu pun warga atau instansi Amerika menjadi korban? Seolah, pihak teroris sudah diberitahu agar menghindari sasaran yang berlabel Amerika. Katanya Al Qa’idah, tetapi Amerika selamat terus?
[7] Selama ini, isu seputar terorisme amat sangat menjadi MONOPOLI kepolisian. Seakan pihak lain, seperti anggota DPR, Komnas HAM, tim pencari fakta independen, tim advokasi Muslim, ormas Islam, atau tim independen asing, tidak boleh campur-tangan sama sekali. Monopoli opini oleh Polisi ini jelas membuka pintu selebar-lebarnya bagi pembunuhan sipil secara sistematik oleh aparat.
[8] Setiap selesai satu kejadian teror, Polisi selalu mengumumkan, bahwa masih ada pelaku yang buron (DPO). Ini sangat menjengkelkan. Kalau kerja Polisi tuntas, seharusnya ringkus semuanya. Jangan dicicil sedikit-sedikit! Sangat kelihatan kalau Polisi ingin memperpanjang “sinetron terorisme” ini. Dengan panjangnya episode, jelas panjang pula harapan mendapat bantuan dana asing.
[9] Pernahkan kita membayangkan, bahwa negara Amerika sendiri yang disebut-sebut telah mengobarkan war on terror itu, mereka kini sudah bosan dengan isu terorisme. Bukan hanya Amerika. Negara-negara yang dulu ikut siaga dalam war on terror, mereka sudah mengendurkan ketegangannya, seiring lengsernya George Bush -laknatullah ‘alaihi wa ashabihi ajma’in-. Nah, mengapa Indonesia seperti sangat mensyukuri acara teror-teroran ini? Di negara asal terjadi Tragedi WTC saja sudah reda, kok disini masih laku?
[10] Perhatikan para pengamat terorisme yang muncul di media-media massa. Orangnya dari dulu itu-itu saja. Nashir Abbas jelas, Sidney Jones, Mardigu, Hendropriyono, Ansyad Mbai, Abdurrahman Assegaf, Umar Abduh, dll. Peristiwa teror di Indonesia seperti sebuah ritual yang diulang-ulang. Dan setiap “ritual” terjadi, para “pendeta” dalam ritual itu selalu orang-orang yang sama.
[11] Bahkan cara-cara media dalam meliput kasus-kasus teror itu nyaris sama. Hanya tempat, waktu, dan deskripsinya berbeda. Tetapi secara umum, model peliputan medianya, sama saja. Kalau tidak salah, orang-orang media sebenarnya bosan juga dengan kasus “jual-beli darah dan nyawa” itu, tetapi mereka seperti tidak ada pilihan.
[12] Isu terorisme di Indonesia seperti sebuah kanker mematikan. Mengapa demikian? Mulanya semua ini dibiarkan, tetapi lama-lama membesar menjadi kanker di tubuh bangsa kita. Bayangkan, semua pihak, selain kalangan Islam, nyaris tak mau bersuara membela kepentingan pemuda-pemuda yang dikejar-kejar sebagai teroris itu. DPR bisu, partai-partai bisu (terutama partai label Islam), Gubernur/Walikota bisu, Menteri bisu, aktivis HAM bisu, aktivis LSM bisu, media massa membisu (dari melakukan advokasi), ormas Islam membisu, gerakan mahasiswa membisu, BEM membisu, HMI membisu, dll. Seolah, semua pihak sudah sepakat untuk sama-sama menzhalimi aktivis-aktivis Islam yang rata-rata fakir-miskin itu. Allahu Akbar, bagaimana mereka bisa berharap akan tegak keadilan di negeri ini, sementara terhadap kezhaliman yang nyata-nyata di depan mata, mereka bisu? Ini menjadi bukti kesekian kalinya, bahwa sejatinya kebanyakan orang Indonesia ini berkarakter MUNAFIK.
[13] Kasus terbaru, yang diklaim oleh kepolisian sebagai terorisme di Aceh. Media-media massa, terutama MetroTV dan TVOne, ikut-ikutan mempublikasikan hal tersebut. Padahal sejatinya, seperti disebut dalam situs suara-islam.com, latihan militer di Aceh itu bukan untuk menyerang SBY saat 17 Agustus 2009. Itu adalah latihan para pemuda Islam yang semula rencananya akan diberangkatkan ke Ghaza. Latihan ini ada dua tahap, pertama tahun 2008 untuk persiapan ke Ghaza. Ini ada videonya, seperti yang ditayangkan di TV-TV. Lalu latihan kedua, akhir 2009 sampai awal 2010. Latihan kedua ini sangat kuat peranan Sofyan Tsauri dalam menjerumuskan pemuda-pemuda Islam itu dalam jebakan kasus terorisme. Latihanyang dirancang Sofyan Tsauri untuk kasus terorisme.
Sofyan Tsauri sendiri mengakunya sebagai desertir polisi Depok. Katanya desertir, tetapi bisa memakai Mako Brimob Kepala II Depok untuk latihan menembak dengan peluru tajam. Hebat kali Si Sofyan ini? Sofyan ini seorang desertir polisi yang memiliki kuasa seperti Kapolri. Hebat kali dia? Dari semua tertuduh teroris di Aceh, hanya Sofyan ini yang diperlakukan istimewa. Tidak dibelenggu, tidak ditutup mata, boleh memakai kacamata hitam, dan naik kendaraan pribadi yang mulus tentunya. Hebat kali Si Sofyan? Dia sudah menjalankan bisnisnya dengan sempurna.
[14] Polisi selama ini selalu bangga dan penuh senyum kalau memberitakan kejadian-kejadian terorisme. Seharusnya mereka sedih dan merasa sangat malu, “Kok dari dulu memberantas teroris tidak selesai-selesai. Polisi ini apa saja kerjanya?” Banyak masalah tidak selesai. Makelar kasus, Susno Duajdi, Anggodo-Anggoro, Bank Century, Gayus Tambunan, Ramayana, dst.
Dan aneka argumentasi yang kerap menjadi tanda-tanya bagi para pemerhati kasus-kasus terorisme di Indonesia. Intinya, seperti sudah dibahas di artikel sebelumnya: “Syaitan itu ada dua jenis, jenis jin dan jenis manusia. Syaitan jenis manusia adalah tukang fitnah, durhaka, pendosa, sangat keji.” Mereka tidak segan-segan untuk menjual-belikan darah, nyawa, dan kehidupan manusia, demi keuntungan dunia yang sangat kecil. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.
Hebatnya lagi, yang menjadi sasaran jebakan terorisme itu rata-rata pemuda Muslim yang baik, bermoral, aktivis Islam, rajin ke masjid, bhakti pada orangtua, cinta keluarga, hidup sederhana, bahkan fakir-miskin. Ini adalah kezhaliman luar biasa. Kezhaliman sezhalim-zhalimnya. Bagaimana Indonesia akan bisa lolos dari kehinaan, bencana alam, dan sengsara, kalau kezhaliman seperti ini terus didiamkan?
Dan lebih hebat lagi, hebat bin ajaib, mayoritas kaum Muslimin, selain para aktivis Islam dan para penggiat Syariat Islam, rata-rata membisu semua atas kezhaliman luar biasa ini! Allahu Akbar! Bagaimana kelak kalau mereka ditanya di alam kubur, ditanya di Akhirat? Dimana pembelaan mereka atas nestapa Ummat Muhammad SAW?
Ya Allah, ya Rahiim, ya Rahmaan, rahmati, rahmati, rahmati, kaum Muslimin ini. Mereka sudah melakukan perbuatan luar biasa, dengan berdiam diri atas penderitaan pemuda-pemuda Islam yang dituduh teroris dan penderitaan keluarga mereka. Masya Allah ya Rahmaan ya Rahiim, ampuni kami ya Rabbal ‘alamiin.
Allahumma inna na’udzubika minas syaithanir rajiim, wa min an yahdhurun. Allahumma inna na’udzubika wa bi Izzatika min syarri wa zhulumatis syayathin wa ahzabihim ajma’in. Allahumma dammir hum tadmira, wa qat-tha’ aidihim wa arjulihim, wa farriq quwwatahum wa makrahum, wa anzil lahum hizyun fid dunya wal akhirah, wa zalzil hayatahum zilzalan katsiran, laa yazalu dzalikal zilzala hatta yatubuna ilaikal Ghafuur. Allahumma inna nas’aluka ‘afiyatan kamilan min kulli syayathin, wa syarrihim, wa zhulumatihim, wa makrihim jami’an. Wa laa haula wa laa quwwata illa billah. Amin Allahumma amin. Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.
Walhamdulillah Rabbil ‘alamiin.
0 komentar:
Posting Komentar