Prancis dan sejumlah negara lain terseret ke dalam perdebatan saat dua murid dikeluarkan dari sekolah karena mengenakan jilbab. Prancis memperluas larangan dan mengusulkan undang-undang yang melarang penggunaan pakaian dan lambang-lambang yang secara terbuka menampilkan jati diri agama. Selain jilbab, undang-undang ini juga berlaku bagi Salib agama Kristen dan topi yarmulke agama Yahudi. Undang-undang ini menyebabkan gelombang kecaman. Negara-negara muslim, Inggris, Amerika Serikat dan Jerman mengutuk undang-undang tersebut dan menekankan bahwa pemberlakuan undang-undang itu dapat menyebabkan ketegangan dan permusuhan di Prancis. Mereka juga menegaskan bahwa undang-undang itu bertentangan dengan kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Tapi, sejauh ini, penentangan-penentangan itu tidak membuat pemerintah Prancis menarik keputusannya.
Kita tidak seharusnya menafsirkan apa yang terjadi di Prancis hanya sebagai larangan pada lambang-lambang keagamaan; ketakutan pemerintah Prancis terhadap agama dan ajaran agama berakar sejak dulu kala. Mereka yang sadar akan perkembangan budaya masyarakat serta hubungan antara gereja dan negara di Prancis akan paham bahwa langkah-langkah semacam ini dan perdebatan yang ditimbulkannya sangatlah dikenal dalam masyarakat Prancis. Terlebih lagi, ketakutan ini tidak hanya sebatas terhadap Islam dan Yahudi; kenangan tentang pembunuhan penganut Katolik selama Revolusi Prancis belumlah terhapuskan.
Pola hubungan gereja-negara di Prancis dibentuk melalui pertikaian, kebencian, kemarahan dan pembantaian. Perselisihan ini berawal di abad ke-8 melawan Gereja Katolik dengan tujuan mengurangi pengaruh Gereja terhadap masyarakat. Dapat kita katakan bahwa selama masa ini, masyarakat menjadi terjauhkan dari nilai-nilai ruhani dan agama dan berada di bawah pengaruh filsafat materialis.
Abad Pencerahan: Bagaimana Masyarakat Eropa Menjauh dari Nilai-Nilai Agama
Masa di mana gagasan-gagasan materialis dan evolusionis mendapatkan penerimaan secara luas dalam masyarakat Eropa, berpengaruh dalam menjauhkan masyarakat itu dari agama, dikenal sebagai Pencerahan. Tentu saja, orang-orang yang memilih kata ini (yaitu mereka yang menganggap perubahan pola pemikiran ini secara positif sebagai gerakan menuju cahaya) adalah para pemimpin penyimpangan ini. Mereka menggambarkan masa sebelumnya sebagai “Abad Kegelapan” dan menyalahkan agama sebagai penyebabnya, serta menegaskan bahwa Eropa mengalami pencerahan ketika disekulerkan [dibebaskan dari pengaruh agama] dan menjauhkan diri dari agama. Pandangan yang menyimpang dan tidak benar ini kini masih merupakan satu dari sarana propaganda mereka yang menentang agama.
Benar bahwa agama Kristen Abad Pertengahan sebagiannya “gelap” akibat takhayul dan sikap taklid buta, dan kebanyakan hal-hal ini telah dibersihkan pasca Abad Pertengahan. Bahkan kenyataannya, gerakan Pencerahan tidak pula membawa hasil bermanfaat bagi masyarakat Barat. Hasil terpenting Abad Pencerahan, yang muncul di Prancis, adalah Revolusi Prancis, yang mengubah negara itu menjadi lautan darah. Bagi sebagian besar cendekiawan Prancis, Abad Pencerahan berarti membersihkan pemikiran masyarakat dari setiap nilai agama dan ruhani. Hampir semua pemikir yang hidup di Prancis abad ke-18 sama-sama memiliki pandangan ini. Revolusi Prancis dibangun di atas gagasan Pencerahan ini yang paling berpengaruh di Prancis; yang merupakan salah satu revolusi modern paling biadab, kejam, dan mengerikan. Segera setelah kelompok Jacobin berkuasa pasca Revolusi Prancis, hal pertama yang mereka lakukan adalah pemberlakuan hukuman mati [penggal kepala] dengan pisau guillotine; ribuan orang kehilangan kepala mereka hanya karena mereka dituduh kaya atau taat beragama. Salah seorang pemimpin Revolusi Prancis bernama Fouché (nama julukannya adalah Penjagal dari Lyon) mengutus panitia yang dipimpin oleh 3 orang ke Lyon untuk membasmi kalangan bangsawan tuan tanah dan agamawan di sana. Dalam sebuah surat yang ia kirim kepada Robespierre, sang pemimpin Senat, Fouché menulis bahwa pisau guillotine bergerak terlalu lamban dan bahwa ia tidak puas dengan kemajuan revolusi yang lambat. Ia meminta izin untuk melakukan pembantaian besar-besaran. Di hari ia mendapatkan izin tersebut, ribuan orang dengan tangan terikat di belakang punggung mereka dibantai tanpa belas kasih oleh senapan-senapan revolusi.
Kini tulisan-tulisan yang terpengaruhi gagasan Pencerahan memuji Revolusi Prancis; padahal, Revolusi itu sangat merugikan Prancis dan menyebabkan perseteruan dalam masyarakat yang berlangsung hingga abad ke-21. Pengkajian tentang Revolusi Prancis dan Abad Pencerahan oleh pemikir terkenal Inggris, Edmund Burke, sangatlah penting. Dalam bukunya yang terkenal, Reflections on the Revolution in France [Renungan tentang Revolusi di Prancis], terbit tahun 1790, ia mengecam gagasan tentang Pencerahan sekaligus hasilnya, yakni Revolusi Prancis; menurut pendapatnya, gerakan itu menghancurkan nilai-nilai asasi yang menyatukan masyarakat, seperti agama, akhlak dan tatanan keluarga, serta membuka jalan bagi merajalelanya ketakutan dan kekacauan. Akhirnya, ia menganggap Pencerahan, sebagaimana diungkapkan seorang penafsir, sebagai suatu “gerakan pemikiran manusia yang bersifat merusak.”
Pemimpin-pemimpin gerakan merusak ini adalah para Mason [anggota perkumpulan Freemasonry]. Voltaire, Diderot, Montesquieu, dan para pemikir anti-agama lainnya yang merekayasa jalan menuju Revolusi, seluruhnya adalah Mason. Kelompok Mason sangat dekat dengan kelompok Jacobin yang merupakan pemimpin Revolusi. Hal ini membuat sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa adalah sulit membedakan antara Jacobinisme dan Masonry di Prancis pada masa itu.
Selama Revolusi Prancis berlangsung, permusuhan besar ditujukan secara terang-terangan terhadap agama. Banyak pendeta dihukum penggal kepala dengan pisau guillotine, gereja-gereja dihancurkan, dan terlebih lagi, ada pihak-pihak yang ingin memberantas habis agama Kristen dan menggantinya dengan sebuah agama menyimpang, agama penyembah berhala, agama simbol yang disebut “Agama Akal.” Para pemimpin Revolusi juga menjadi korban kegilaan ini, masing-masing mereka akhirnya kehilangan kepala mereka sendiri oleh pisau guillotine, yang dengannya mereka sendiri telah menghukum begitu banyak orang. Bahkan saat ini, banyak orang Prancis yang terus mempertanyakan benar tidaknya Revolusi tersebut merupakan sesuatu hal yang baik.
Perasaan anti-agama dari Revolusi Prancis menyebar ke seantero Eropa dan, hasilnya, abad ke-19 menjadi salah satu babak propaganda anti-agama yang paling terbuka dan gencar.
Perang Melawan Agama di Prancis
Peran yang dimainkan kelompok Mason dalam Revolusi diakui oleh “agen provokator” bernama Count Cagliostro. Cagliostro ditangkap oleh Iquisition [lembaga pengadilan gereja Katolik Roma antara tahun 1232-1820] pada tahun 1789, dan membuat sejumlah pengakuan penting selama dimintai keterangan. Ia memulai dengan menyatakan bahwa para Mason di seluruh Eropa telah merencanakan serangkaian revolusi. Ia mengatakan bahwa tujuan utama kelompok Mason adalah menghancurkan Lembaga Kepausan atau mengambil alihnya.
Makar perkumpulan Masonry di Prancis tidak berhenti dengan Revolusi. Kekacauan yang muncul akibat Revolusi akhirnya dipadamkan saat Napoleon menduduki kekuasaan. Tapi, keadaan tenang ini tidak berlangsung lama; cita-cita Napoleon untuk berkuasa di seluruh Eropa hanya berujung pada akhir kekuasannya. Setelah itu, pertikaian di Prancis terus berlangsung antara pihak kerajaan dan pendukung Revolusi. Di tahun 1803, 1848, dan 1871, tiga revolusi lagi terjadi. Di tahun 1848, “Republik Kedua” didirikan; di tahun 1871, “Republik Ketiga” dibentuk. Di tahun 1881, Katolik tidak lagi menjadi agama resmi Prancis dan di tahun 1988 pelajaran agama dihilangkan sama sekali dari sistem pendidikan.
Kelompok Mason sangatlah giat selama masa pergolakan ini. Tujuan utama mereka adalah memperlemah Gereja dan lembaga-lembaga keagamaannya, menghancurkan nilai-nilai agama dan pengaruh hukum-hukum agama dalam masyarakat, dan menghapus pendidikan agama. Kelompok Mason memandang paham perlawanan terhadap kekuasaan kaum agamawan sebagai pusat gerakan sosial dan politik mereka.
The Catholic Encyclopedia [Ensiklopedia Katolik] memberikan keterangan penting tentang gerakan anti-agama dari Grand Orient, julukan bagi Masonry Prancis:
Dari surat-surat resmi Masonry Prancis yang dimuat terutama dalam “Buletin” dan “Laporan” resmi Grand Orient, telah dibuktikan bahwa seluruh kebijakan yang memusuhi kekuasaan kaum agamawan yang dikeluarkan di Parlemen Prancis telah diputuskan sebelumnya di pusa-pusat pertemuan kelompok Mason dan dilaksanakan di bawah arahan Grand Orient, yang bertujuan, sebagaimana dinyatakannya secara jelas, untuk mengendalikan setiap hal dan setiap orang di Prancis. “Saya telah mengatakan di majelis tahun 1898,” kata sang anggota dewan Massé, juru bicara resmi majelis tahun 1903, “bahwa adalah tugas terpenting Freemasonry untuk setiap hari terlibat lebih banyak dalam perjuangan politik dan anti-agama.” “Keberhasilan (dalam perang melawan kekeuasaan kaum pendeta) sebagian besarnya adalah berkat Freemasonry; sebab jiwanya, rencananya, caranyalah yang telah menang.” “Jika Blok ini telah didirikan, ini berkat Freemasonry dan berkat disiplin yang dipelajari di pusat-pusat pertemuan [Freemasonry]”… “Kita perlu waspada dan yang terpenting saling percaya, jika kita hendak menuntaskan kerja kita, yang sejauh ini belum selesai. Kerja ini, Anda tahu…perang melawan kekuasaan kaum pendeta, sedang berlangsung. Republik ini harus membersihkan diri dari lembaga-lembaga keagamaan, menyapu bersih mereka dengan satu hantaman keras. Perencanaan setengah-setengah di mana pun berbahaya; lawan harus dihancurkan dengan sekali pukul.
The Catholic Encyclopedia meneruskan paparan tentang peperangan Masonry Prancis melawan agama:
Sebenarnya seluruh pembaharuan Masonik “anti-kekuasaan kaum agamawan” yang dijalankan di Prancis sejak 1877, seperti penghapusan pengajaran agama dari pendidikan, kebijakan menentang sekolah-sekolah dan badan-badan kemanusiaan Kristen swasta, pelarangan dewan-dewan keagamaan dan penghancuran lembaga Gereja, diakui berpuncak pada perombakan anti-Kristen dan anti-agama terhadap masyarakat manusia, tidak hanya di Prancis tapi di seluruh dunia. Dengan demikian Freemasonry Prancis, sebagai pemimpin seluruh gerakan Freemasonry, seolah meresmikan masa keemasan republik universal Masonik, yang meliputi persaudaraan Masonik dari semua manusia dan seluruh bangsa. “Masa Kejayaan Galilean,“ kata presiden Grand Orient, Senator Delpech, pada tanggal 20 September 1902, “telah berlangsung selama 20 abad. Tapi kini gilirannya dia mati… Gereja Katolik Roma, yang didirikan di atas dongeng Galilean, mulai mengalami keruntuhan dengan cepat sejak hari didirikannya Kelompok Masonik.
“Galilean” yang dimaksud kelompok Mason adalah Yesus, karena menurut Injil, Yesus lahir di kota Galilee di Palestina. Karena itu, kebencian kelompok Mason terhadap Gereja adalah sebuah luapan kebencian mereka terhadap Yesus dan terhadap semua agama yang mengakui adanya satu Tuhan. Dengan budaya materialis, Darwinis dan humanis yang mereka bangun di abad ke-19, mereka yakin bahwa mereka telah menghancurkan agama dan menghidupkan kembali Eropa dalam bentuk paganisme pra-Kristen [yakni agama politeistik atau agama selain Kristen, Yahudi dan Islam].
Saat kata-kata ini diucapkan di tahun 1902, serangkaian undang-undang di Prancis memperluas ruang lingkup penentangan terhadap agama. Tiga ribu sekolah agama ditutup dan memberikan pelajaran agama apa pun di sekolah dilarang. Banyak pendeta ditangkap, sebagian di antaranya diasingkan dan orang-orang taat beragama mulai dianggap sebagai warga kelas dua. Karena alasan ini, di tahun 1904, Vatikan memutuskan seluruh hubungan kenegaraan dengan Prancis, tapi hal ini tidak mengubah sikap negara tersebut. Dibutuhkan korban ratusan ribu jiwa orang Prancis yang melawan tentara Jerman di Perang Dunia I sebelum keangkuhan negeri itu ditundukkan dan Prancis mengakui kembali pentingnya nilai-nilai agama.
Seperti dinyatakan The Catholic Encyclopedia, perang melawan agama, sejak Revolusi Prancis hingga abad ke-20, dilancarkan melalui “kebijakan-kebijakan anti-pendeta yang dikeluarkan Parlemen Prancis” yang “diputuskan sebelumnya di pusat-pusat pertemuan Masonik dan dilaksanakan di bawah arahan Grand Orient.” 4 Fakta ini tampak jelas dari tulisan-tulisan Masonik. Misalnya, sebuah kutipan dari terbitan Turki berjudul "A Speech Made by Brother Gambetta on July 8 1875 in the Clémente Amitié Lodge" [Sebuah Pidato yang Disampaikan oleh Saudara Gambetta tanggal 8 Juli 1875, di Pusat Pertemuan Clémente Amitié] berbunyi:
Sementara bayangan ketakutan akan tindakan balasan mengancam Prancis, dan doktrin agama serta pemikiran terbelakang melancarkan serangan melawan prinsip dan hukum sosial modern, di tengah-tengah perkumpulan yang terampil, berpandangan ke depan seperti Masonry yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip persaudaraan, kita temukan kekuatan dan dukungan dalam perjuangan melawan kekuasaan Gereja yang kelewat batas, sikapnya yang dibesar-besarkan dan konyol serta tindakannya yang selalu berlebihan… kita wajib berjaga-jaga dan meneruskan perjuangan. Dalam rangka menegakkan gagasan tentang tatanan dan kemajuan manusia, mari kita bertahan agar perisai kita tidak dapat ditembus.
Dapat dicermati bahwa tulisan-tulisan Masonik senantiasa menampilkan gagasan-gagasan mereka sendiri sebagai “berpandangan jauh ke depan” sementara menuduh orang taat beragama sebagai “terbelakang”. Namun, ini hanyalah permainan kata-kata. Pendapat mengenai “bayangan ketakutan akan tindakan balasan”, yang disebutkan dalam kutipan di atas, adalah sesuatu yang juga ditentang oleh orang yang benar-benar taat beragama, tapi dimanfaatkan kelompok Mason untuk membidik agama yang benar dalam usaha mereka menjauhkan orang darinya. Selain itu, perlu ditegaskan kembali bahwa filsafat materialis-humanis yang dianut kalangan Mason sesungguhnya adalah takhayul, pola pemikiran terbelakang, warisan peradaban penyembah berhala Mesir Kuno dan Yunani Kuno.
Karenanya, penggunaan istilah seperti “berpandangan jauh ke depan” dan “terbelakang” oleh kelompok Mason dalam kenyataannya tidak memiliki dasar. Sungguh, hal tersebut tidak berdasar karena pertikaian antara kelompok Mason dan orang-orang taat beragama tidaklah lebih dari kelanjutan perseteruan antara dua pandangan yang telah ada sejak masa paling awal dari sejarah. Agamalah yang menyatakan yang pertama dari dua pandangan ini: bahwa umat manusia diciptakan dengan kehendak Tuhan dan bahwa umat manusia wajib menyembah-Nya. Inilah kebenaran itu. Pandangan yang berlawanan, yakni bahwa manusia tidak diciptakan, melainkan menjalani kehidupan yang tanpa makna dan tanpa tujuan, adalah yang dikemukakan oleh mereka yang mengingkari keberadaan Tuhan. Ketika dipahami secara benar, dapat ketahui bahwa penggunaan mereka akan istilah “terbelakang” dan “berpandangan jauh ke depan” tidaklah memiliki dasar.
Dengan memanfaatkan gagasan tentang “kemajuan”, kalangan Mason berupaya menghancurkan agama. "Catholic Encyclopedia" menyatakan:
Hal berikut dianggap sebagai cara-cara utama [gerakan freemasonry]:
(1) Menghancurkan sama sekali seluruh pengaruh Gereja dan agama terhadap masyarakat, yang secara licik dijuluki “clericalism” [“paham yang mendukung kekuasaan kaum agamawan”], melalui penekanan terbuka terhadap Gereja atau melalui sistem munafik dan menipu [yaitu] pemisahan antara Negara dan Gereja, dan sejauh mungkin, menghancurkan Gereja dan seluruh agama yang benar, yakni yang [bersumber dari] kekuatan di luar manusia, yang lebih dari sekedar aliran kebangsaan dan kemanusiaan yang tidak jelas;
(2) Mensekularisasi, melalui sistem “unsectarianism” [“ketidakfanatikan”] yang juga munafik dan menipu, seluruh kehidupan masyarakat dan pribadi dan, khususnya, pengajaran dan pendidikan umum. “Unsectarianism” [“ketidakfanatikan”] yang dimaksud oleh pihak Grand Orient adalah sectarianism [kefanatikan] yang anti-Katolik dan bahkan anti-Kristen, ateistik, positifistik [aliran filsafat empirisme yang lebih kuat], atau agnostik berbaju unsectarianism [ketidakfanatikan]. Kebebasan berpikir dan bernurani anak-anak haruslah dibangun secara tertata dan terencana dalam diri anak di sekolah dan dilindungi, sejauh mungkin, dari segala pengaruh yang membahayakan, tidak hanya dari Gereja dan para pendeta, tapi juga dari orang tua anak-anak itu sendiri, jika perlu, bahkan melalui paksaan jasmaniyah dan kejiwaan. Kelompok Grand Orient menganggapnya sebagai sebuah jalan yang mutlak diperlukan dan yang pasti tidak gagal menuju puncak berdirinya republik sosial universal. 6
Dapat dipahami bahwa Masonry telah melaksanakan sebuah rencana, dengan mengatasnamakan “pembebasan masyarakat”, yang tujuannya menghapuskan agama, sebuah rencana yang masih sedang dijalankan. Ini tidak boleh disalahartikan dengan sebuah tatanan yang mengupayakan hak bagi setiap warga negara dengan keyakinan agama apa pun untuk menjalankan agamanya secara bebas. Sebaliknya, tatanan yang dicita-citakan oleh Masonry adalah sesuatu yang berupa pencucian otak besar-besaran, yang dirancang untuk menghapus sama sekali agama dari masyarakat dan dari akal pikiran setiap orang dan, jika perlu, menindas para penganutnya.
0 komentar:
Posting Komentar